Gorontalo, kabarjejakkasus.id – Sabtu, 10/05/2025. Sebuah ironi yang menyayat nalar publik kini terpampang jelas di Kabupaten Pohuwato. Sebanyak 27 unit ekskavator terpantau bebas beroperasi di kawasan pemukiman Desa Bulangita, seolah-olah melintasi jalan protokol dengan karpet merah. Aktivitas tambang ilegal itu bahkan telah merangsek mendekati batas wilayah jantung kota—yakni Kecamatan Marisa, pusat pemerintahan kabupaten Pohuwato.
Masyarakat bukan hanya resah, tapi mulai dihantui kecemasan rasional. Di saat musim hujan bersiap datang, sedimentasi hasil ekskavasi yang terus mengental di bantaran sungai memperbesar risiko banjir bandang. Sungai-sungai kecil yang dahulu mengalir tenang kini tampak seperti lorong waktu menuju bencana ekologis yang tak diundang.
Kekhawatiran warga bukan tanpa dasar. Desa tetangga yang berbatasan langsung dengan Bulangita juga berpotensi terdampak. Sebab air tak pernah mengenal batas administratif, dan kerusakan lingkungan tidak bisa dibendung dengan papan nama desa.
Namun, yang lebih memprihatinkan dari gundukan tanah dan suara mesin adalah sunyinya tindakan. Ketika alat berat memasuki zona pemukiman, aparat penegak hukum justru seperti tak hadir dalam wacana, apalagi di lokasi. Diam yang terlalu panjang ini menimbulkan tafsir muram di kalangan masyarakat: mungkinkah hukum sedang istirahat, ataukah justru sedang mengamati dari kejauhan sambil memberi jalan?
“Jangan sampai ketegasan hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil dengan cangkul, sementara ekskavator bermesin besar justru dianggap bagian dari pembangunan,” sindir salah satu warga.
Padahal regulasi sudah begitu jelas. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba secara tegas melarang segala bentuk aktivitas tambang tanpa izin. Namun di Bulangita, aturan itu tampaknya tak mampu mengimbangi kekuatan 27 ekskavator yang bergerak tanpa hambatan.
Kini warga menanti—bukan sekadar janji atau pernyataan normatif, tetapi langkah nyata dari aparat penegak hukum dan instansi teknis. Karena jika alat berat bisa masuk sejauh ini tanpa sentuhan hukum, maka publik berhak bertanya: untuk siapa sesungguhnya hukum ditegakkan?
“Jangan tunggu banjir datang baru semua sibuk pakai rompi dan sepatu bot. Kami ingin pencegahan, bukan penyesalan,” ucap, salah seorang warga, dengan nada getir.
Di tengah tanah yang terus digali dan sungai yang perlahan kehilangan alirannya, warga hanya berharap satu hal: agar logika hukum kembali berjalan, sebelum semuanya berubah menjadi kronik bencana yang seharusnya bisa dihindari.
TimRedaksi