Gorontalo, kabarjejakkasus.id — Praktik tambang ilegal yang diduga melibatkan oknum Kepala Desa berinisial KR di Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato, kini berbuntut panjang. Aktivis Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) Gorontalo menyoroti keras aktivitas penambangan yang tidak hanya mencemari kawasan hutan lindung, tetapi disebut telah merambah hingga ke zona Cagar Alam (CA) di sekitar Tambang Potabo, Desa Hulawa.
Saat dikonfirmasi, Sabtu, (10/05/2025) Ato Hamzah, aktivis LAI, menyebut keterlibatan seorang pejabat desa dalam kegiatan ilegal ini sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap hukum lingkungan dan etika jabatan publik.
“Jika benar aktivitas ini sudah masuk ke Cagar Alam, maka kita bicara pelanggaran yang jauh lebih berat. KR bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak kawasan konservasi yang dilindungi secara ketat oleh undang-undang,” tegas Ato.
Zona Cagar Alam memiliki perlindungan tertinggi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyatakan bahwa setiap bentuk aktivitas eksploitasi, termasuk penambangan, dilarang keras di dalam kawasan CA.
Selain itu, KR diduga melanggar:
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan – melarang perambahan kawasan hutan tanpa izin.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup – memberikan sanksi pidana atas kerusakan lingkungan.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa –memungkinkan pemberhentian kepala desa yang melanggar hukum atau merugikan publik.
Jika terbukti, pelanggaran terhadap kawasan CA bisa dikenakan sanksi pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU No. 5/1990.
Aktivis LAI Gorontalo juga mengecam keras sikap diam KPH Pohuwato, BKSDA, dan APH, yang dinilai gagal mengambil tindakan meskipun indikasi pelanggaran sudah nyata.
“Jika Cagar Alam bisa dirambah dan aparat hanya diam, maka kita patut curiga: ada pembiaran atau bahkan keterlibatan,” ujar Ato. “Kalau tidak bisa bertindak, mundur!”
Aktivis LAI Gorontalo mendesak:
1. Proses hukum transparan dan segera terhadap KR, tanpa pandang bulu.
2. Pengusutan jaringan tambang ilegal yang masuk ke kawasan konservasi.
3. Evaluasi total atas fungsi pengawasan KPH, BKSDA, dan penegak hukum lokal.
Menurut Ato, pembiaran atas aktivitas tambang di kawasan hutan lindung dan cagar alam bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi krisis ekologis dan institusional yang mengancam masa depan daerah.
“Cagar Alam bukan warisan untuk dijual, tapi titipan untuk dijaga. Dan jika aparat tidak bisa menjaganya, maka rakyat akan mengambil sikap,” tutupnya.
TimRedaksi