Gorontalo, KABARjejakkasus.id – Setelah insiden longsor di lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di wilayah Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Minggu pagi (01/06), yang menimpa seorang remaja berinisial HM (18) asal Desa Saripi, Kecamatan Paguyaman, kini kondisi korban telah dilaporkan membaik.
Informasi terbaru ini disampaikan langsung oleh Kepala Desa Saripi saat dikonfirmasi awak media via sambungan telepon, Senin (02/06/2025). HM yang sebelumnya sempat dirawat di Rumah Sakit Tani dan Nelayan (RSTN) Boalemo, kini telah kembali ke rumahnya sekitar pukul 23.00 WITA malam tadi.
“Informasi yang saya dapat dari Kepala Dusun, HM sudah dibawa pulang ke rumah semalam sekitar jam 11 malam dari RSTN Boalemo. Kondisinya sudah baik dan sekarang sedang istirahat di rumah,” ujar Kepala Desa Saripi.
HM sebelumnya dilaporkan sempat pingsan usai tertimbun material longsor di area tambang ilegal yang diduga dikuasai oleh oknum aparat polisi. Namun, informasi simpang siur yang menyebar di masyarakat pascakejadian menyebut bahwa HM mengalami patah kaki, bahkan ada yang menyebut ia meninggal dunia. Kades Saripi dengan tegas membantah kedua isu tersebut.
“Itu tidak benar. HM tidak patah kaki, apalagi meninggal. Informasi yang saya dapat, kakinya memang sempat tertimbun, tapi hanya mengalami cedera ringan. Tidak ada luka berat,” tegasnya.
Meski kondisi HM telah membaik, kasus ini menyisakan sejumlah pertanyaan mendasar: Mengapa remaja 18 tahun bisa bekerja di lokasi tambang tanpa izin yang rawan bencana? Siapa yang mempekerjakan? Dan mengapa aktivitas tambang ilegal tersebut tetap berjalan meski sudah menelan korban?
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari pihak terkait kepemilikan tambang maupun langkah hukum yang akan diambil. Dugaan keterlibatan oknum aparat, jika benar adanya, menunjukkan ironi pahit dalam sistem penegakan hukum.
Peristiwa ini tidak hanya mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap aktivitas pertambangan ilegal, tetapi juga memperlihatkan bagaimana ruang hidup rakyat kecil justru dijadikan medan bisnis yang bebas dari pertanggungjawaban.
Satu nyawa memang selamat. Tapi sampai kapan keberuntungan dijadikan tameng atas pembiaran yang sistematis?
Tim-Redaksi