Gorontalo, KABARjejakkasus.id — Warga Desa Bulangita, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap aktivitas tambang ilegal (PETI) yang dijalankan oleh Riskal Yakin. Pria tersebut diduga menjalankan operasional tambang menggunakan satu unit alat berat ekskavator merek JCB, tanpa izin resmi dan tanpa memberikan kontribusi apa pun bagi masyarakat sekitar.
Lebih mencengangkan, aktivitas ilegal Riskal ini dikabarkan mendapat dukungan dari oknum aparat—khususnya seorang anggota TNI yang menjabat sebagai Babinsa di bawah naungan Koramil setempat. “Kami tahu alat berat itu beroperasi hampir setiap hari, dan masyarakat tidak bisa bersuara karena katanya ada beking dari oknum Babinsa,” ujar warga Bulangita yang meminta identitasnya disamarkan demi alasan keamanan.
Warga mengaku tidak pernah merasakan manfaat dari kehadiran kegiatan tambang tersebut. Tidak ada bantuan sosial, pembangunan fasilitas desa, ataupun dukungan ekonomi kepada warga terdampak. Sebaliknya, jalan-jalan desa rusak akibat lalu lintas alat berat, dan lahan-lahan produktif di sekitar wilayah tambang mulai berubah menjadi gundukan tanah yang ditinggalkan begitu saja.
“Kami ini bukan menolak pembangunan, tapi yang dilakukan Riskal bukan pembangunan, ini perusakan,” tegas warga lainnya. “Tidak ada sama sekali kontribusi untuk desa ini. Bahkan satu karung semen untuk jalan desa pun tidak pernah. Semua hasilnya hanya untuk kantong pribadi.”
Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap aktivitas pertambangan harus memiliki izin resmi (IUP). Operasi Riskal dengan alat berat tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap Pasal 158, yang dapat diancam hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Jika benar ada keterlibatan oknum anggota TNI dalam membekingi aktivitas ilegal ini, maka hal tersebut bukan hanya mencoreng institusi militer, tetapi juga berpotensi melanggar kode etik dan hukum militer sebagaimana diatur dalam UU TNI dan peraturan disiplin prajurit.
Masyarakat Bulangita kini berharap aparat penegak hukum dan TNI segera turun tangan. Mereka menolak dijadikan korban pembiaran atas nama keuntungan sepihak.
“Kalau negara tidak hadir, kami akan hadapi sendiri. Kami tidak ingin tanah kami dijual habis oleh orang yang tidak pernah peduli dengan desa ini,” ungkap salah satu tokoh muda desa yang selama ini aktif mengadvokasi penolakan PETI.
Praktik PETI yang dibekingi oleh aparat bukan hanya mencederai keadilan sosial, tapi juga memperkuat ketakutan warga untuk bersuara. Kasus Riskal Yakin di Bulangita adalah potret nyata ketika hukum dipermainkan oleh kekuatan modal dan kekuasaan. Sudah saatnya negara menegakkan kedaulatan rakyat, bukan melindungi pelanggar.
Tim-Redaksi