Bone Bolango, KABARjejakkasus.id – Seorang tokoh agama yang seharusnya menjadi penjaga moral dan teladan masyarakat justru terjerat dalam skandal pernikahan anak yang memprihatinkan. Seorang imam masjid sekaligus tokoh masyarakat di Kabupaten Bone Bolango diduga menikahkan anak kandungnya yang masih berusia di bawah 16 tahun dengan seorang pria dewasa yang disebut-sebut diduga masih memiliki istri dan anak.
Yang membuat publik terkejut dan geram adalah fakta bahwa pernikahan ini diduga dilakukan karena sang anak telah lebih dulu hamil di luar nikah. Namun, alih-alih menempuh jalur hukum dan perlindungan anak sesuai peraturan yang berlaku, sang imam justru memfasilitasi pernikahan yang diduga dilangsungkan secara tidak sah menurut hukum negara—tanpa dispensasi resmi dari pengadilan agama, dan hanya berdasarkan akad nikah secara agama.
Tindakan ini secara terang-terangan bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, yang menetapkan batas usia minimal perkawinan adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa membiarkan atau memfasilitasi perkawinan anak termasuk dalam kategori tindak pidana.
- UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), yang mengatur bahwa hubungan seksual terhadap anak di bawah umur, sekalipun atas dasar suka sama suka, tetap dikategorikan sebagai kekerasan seksual, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
Sebagai pemuka agama, yang bersangkutan seharusnya memahami konsekuensi hukum dan sosial dari tindakannya. Namun dalam kasus ini, jabatan keagamaan justru diduga dimanfaatkan untuk melegitimasi tindakan yang merugikan hak-hak anak serta menghindari jalur hukum yang seharusnya ditempuh demi melindungi korban.
Kemarahan dan kekecewaan mencuat di tengah masyarakat. Beberapa warga yang dikonfirmasi oleh awak media pada Jumat (25/07/2025) menyampaikan kekecewaan mereka:
“Kami kecewa, karena yang menjadi imam justru menabrak hukum. Ini bukan teladan. Kami hormat karena dia tokoh agama, tapi bukan berarti dia boleh mengabaikan hak anak hanya karena ingin menutupi aib keluarga,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Warga lain menambahkan bahwa pernikahan tersebut dilakukan secara diam-diam tanpa pengumuman resmi, memperkuat dugaan adanya upaya menyembunyikan peristiwa ini dari pantauan publik dan hukum. “Kalau bukan imam, mungkin sudah ramai ditangani polisi. Tapi karena dia tokoh, semua orang jadi takut bicara,” tambahnya.
Masyarakat dan Publik mendesak KPAI serta UPTD PPA Kabupaten Bone Bolango untuk segera turun tangan. Mereka juga mendorong aparat penegak hukum untuk menindak tegas sang imam atas dugaan pelanggaran hukum dalam memfasilitasi perkawinan anak.
Jika dibiarkan, hal ini akan menjadi preseden buruk—seolah negara memberi pesan bahwa tokoh agama kebal hukum, dan anak-anak bisa dikorbankan atas nama “menjaga nama baik keluarga.”
Sebagai pihak yang menikahkan anak kandungnya yang masih di bawah umur, yang bersangkutan berpotensi dijerat pidana sebagai fasilitator perkawinan anak, yang bertentangan dengan hukum negara. Jika terbukti, sanksi pidana bisa berupa kurungan penjara serta pencabutan hak-hak sosial sebagai tokoh masyarakat.
Terlebih jika akad nikah dilakukan tanpa pencatatan resmi dan tanpa persetujuan pengadilan agama, maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang sah secara negara dan dapat dinyatakan batal demi hukum.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah, aparat penegak hukum, dan lembaga perlindungan anak dalam menegakkan keadilan bagi anak-anak Indonesia. Tidak boleh ada toleransi terhadap penyalahgunaan simbol keagamaan untuk melegalkan pelanggaran hukum.
Redaksi KABARjejakkasus.id masih menunggu hak jawab dari semua pihak terkait, termasuk pihak keluarga, tokoh agama bersangkutan, serta aparat pemerintah dan penegak hukum setempat. Kami membuka ruang konfirmasi dan klarifikasi sebagai bagian dari prinsip keberimbangan dalam pemberitaan.
Tim Redaksi