Gorontalo, kabarjejakkasus.id — Sebuah proses mediasi yang seharusnya menjadi ruang penyelesaian damai, justru berubah menjadi sorotan publik setelah seorang oknum polisi diduga menunjukkan sikap arogan di hadapan masyarakat. Insiden ini terjadi pada Rabu (30/04/2025) di Kantor Desa Bunuyo, Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato, saat digelar mediasi terkait polemik internal pengurus Mesjid Al-Abrar, Dusun Selatan.
Mediasi tersebut bertujuan menyelesaikan ketegangan yang muncul dari dugaan ketidakterbukaan dalam pengelolaan keuangan dapur masjid, serta ketidakjelasan status kepemilikan tempat ibadah tersebut. Namun, forum mediasi itu berubah memanas ketika seorang anggota Polri berinisial WM, yang bertugas di Pos Polisi Desa Hulawa, terlibat langsung dalam perdebatan, mendampingi ayah kandungnya, HM, yang merupakan salah satu pihak dalam konflik.
Tak hanya turut campur, WM diduga membentak seorang ibu tua yang saat itu tengah menyampaikan pendapatnya. Tindakan tersebut disaksikan langsung oleh Kepala Desa Bunuyo, Nikson Husain, sejumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), kepala dusun, serta tokoh masyarakat yang hadir.
“Saya sedang bicara baik-baik dengan ayahnya, tapi dia malah membentak saya di depan orang banyak,” ungkap SS, ibu tua yang menjadi korban bentakan. Warga yang hadir menyayangkan sikap WM yang dinilai tidak pantas ditunjukkan oleh seorang aparat negara.
Ketidakhadiran sikap netral dan profesional dari seorang anggota Polri dalam forum masyarakat menjadi sorotan utama. Pasalnya, tindakan WM dinilai mencoreng institusi kepolisian yang seharusnya menjadi penjaga ketertiban dan keadilan — bukan justru memperkeruh konflik karena keterlibatan personal.
“Ini mencoreng wibawa kepolisian. Seharusnya dia menjadi penengah, bukan malah memihak apalagi karena hubungan keluarga, sangat memalukan” kata seorang tokoh masyarakat yang juga sekaligus mantan kades tersebut.
Situasi semakin kompleks ketika pihak HM mengancam membawa perkara tersebut ke jalur hukum dengan tuduhan pencemaran nama baik. Langkah ini dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap mekanisme penyelesaian melalui musyawarah desa yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat adat.
Dalam konteks regulasi, tindakan WM dinilai tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, khususnya dalam pasal yang mewajibkan setiap anggota Polri untuk bersikap netral, tidak memihak, dan tidak menyalahgunakan kewenangannya dalam hubungan sosial, termasuk dalam urusan keluarga.
Persoalan semakin meruncing karena hingga kini sertifikat asli wakaf Masjid Al-Abrar belum diserahkan kepada pemerintah desa, dan masih dikuasai oleh HM. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat mengenai keabsahan status masjid sebagai lembaga publik berbasis wakaf.
Kepala Desa Bunuyo, Nikson Husain, mengonfirmasi bahwa dirinya hadir langsung dalam mediasi tersebut. Ia membenarkan bahwa terjadi ketegangan antar pihak, termasuk keikutsertaan WM yang memicu reaksi dari masyarakat.
“Benar, suasana sempat memanas. Saya melihat langsung interaksi yang tidak pantas dalam forum itu,” ujar Nikson.
Polemik ini menjadi cerminan bahwa peran dan sikap aparat negara, terutama anggota Polri, harus dijaga dalam bingkai netralitas dan tanggung jawab moral. Ketika aparat kehilangan sensitivitas sosial dan etika publik, maka kepercayaan masyarakat pun ikut tergerus.
Masyarakat Desa Bunuyo kini menunggu langkah konkret dari Kapolres Pohuwato untuk mengevaluasi dan menindak tegas anggotanya yang diduga telah melanggar kode etik, demi menjaga kehormatan institusi Polri serta rasa keadilan di tengah warga.
TimRedaksi