Gorontalo, KABARjejakkasus.id – Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) terus mencoreng wajah penegakan hukum dan kelestarian lingkungan di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Kali ini, nama Yasrin, seorang pelaku usaha PETI asal Desa Bulangita, mencuat ke permukaan setelah terpantau mengoperasikan satu unit ekskavator merek SANY di areal tak berizin, yang telah mengakibatkan sedimentasi ke wilayah Teratai—suatu kawasan strategis ekologis dan pertanian warga.
Saat dikonfirmasi oleh wartawan pada Senin, 21 Juli 2025, seorang warga Desa Bulangita yang tidak ingin disebutkan namanya menyampaikan bahwa selama beroperasinya kegiatan tambang ilegal milik Yasrin, tidak ada kontribusi apa pun yang dirasakan oleh masyarakat. “Kami cuma dapat debu, lumpur, dan suara bising. Tidak pernah ada bantuan, perbaikan fasilitas, apalagi perhatian terhadap dampak lingkungan,” ujar warga tersebut. Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa kegiatan PETI yang dilakukan Yasrin bersifat eksploitatif dan tidak menyisakan nilai manfaat bagi masyarakat sekitar, kecuali kerusakan.
Kegiatan Yasrin merupakan bentuk pelanggaran terang-terangan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur bahwa setiap kegiatan penambangan wajib dilengkapi dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pasal 158 dari regulasi tersebut menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Dengan demikian, seluruh aktivitas Yasrin di Desa Bulangita merupakan tindak pidana murni yang wajib ditindak tegas oleh aparat penegak hukum.
Lebih lanjut, sedimentasi yang mengalir ke kawasan Teratai dapat dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal ini, Pasal 98 ayat (1) menegaskan:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.”
Artinya, Yasrin berpotensi dijerat dengan dua lapis pidana, yaitu pidana pertambangan dan pidana lingkungan.
Lebih menyakitkan lagi, sebagaimana dilaporkan oleh warga, tidak ada kontribusi sosial apa pun yang diberikan Yasrin kepada masyarakat sekitar. Tidak ada program pemberdayaan, tidak ada alokasi keuntungan untuk fasilitas umum, tidak ada itikad baik untuk mengatasi dampak sosial maupun ekologis. Tambang yang dijalankannya hanya memperkaya diri pribadi dan kroni, sementara masyarakat menanggung lumpur, debu, dan ketimpangan.
Dalam kerangka Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial, Yasrin telah gagal memenuhi kewajiban sosial yang semestinya melekat pada setiap aktivitas ekonomi, terlebih dalam sektor ekstraktif yang penuh risiko kerusakan. Bahkan dalam operasi legal sekalipun, kontribusi sosial (CSR) merupakan standar minimal. Bagaimana mungkin operasi ilegal seperti yang dilakukan Yasrin, dibiarkan tanpa evaluasi dan penindakan?
Pertanyaan yang mengemuka adalah: di mana negara? Mengapa alat berat bisa leluasa bekerja di tanah yang tidak berizin? Apakah aparat tutup mata? Apakah pemda lumpuh oleh ketakutan atau kompromi?
Jika instrumen hukum negara dibiarkan kalah oleh ekskavator SANY milik Yasrin, maka demoralisasi hukum akan terjadi. Penambang ilegal lain akan merasa memiliki legitimasi melalui impunitas, dan ini adalah preseden buruk bagi tata kelola sumber daya alam di Pohuwato.
Sebagai pelanggar hukum, Yasrin seharusnya ditangkap dan diproses secara pidana. Tidak cukup dengan teguran atau penghentian sementara. Aparat penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan, maupun Satpol PP Lingkungan Hidup dan Dinas ESDM, harus bergerak cepat. Pembiaran hanya akan menjadi bukti bahwa negara telah dikalahkan oleh rente dan alat berat.
Kasus Yasrin adalah potret ketimpangan struktural: segelintir orang menguasai alat berat dan memperkaya diri dari emas negara, sementara rakyat sekitar tidak mendapat bagian apa pun selain kerusakan. Lebih tragis lagi, hukum yang seharusnya melindungi masyarakat malah bungkam di hadapan kekuasaan modal ilegal.
Menangkap Yasrin bukan sekadar soal hukum. Ini soal restore kepercayaan publik pada negara. Ini soal meluruskan kembali arah pembangunan agar tidak hanya menguntungkan segelintir pelanggar, tetapi memberi ruang bagi keadilan sosial dan kelestarian ekologis.
Tim-Redaksi